Wabah COVID-19 menyebabkan banyak orang mengalami kondisi kesehatan serius dan perlu perawatan intensif, dan bahkan merenggut nyawa sebagian orang yang terinfeksi. Entah itu berita kematian atau sakitnya orang terdekat, menyampaikan berita buruk kepada siapapun bukanlah hal yang mudah, apalagi menyampaikannya kepada lansia yang mengalami demensia.
Ketika ada keluarga atau kerabat dekat yang harus dikarantina, dirawat di RS, atau bahkan meninggal, dilema yang sering muncul di keluarga adalah: apakah perlu memberitahu anggota keluarga yang sudah mengalami demensia? Tidakkah hal ini hanya akan menambah beban pikiran mereka? Apakah mereka akan memahaminya?
Reaksi setiap orang dalam menghadapi berita buruk berbeda-beda. Cara menyampaikannya juga berdampak signifikan terhadap bagaimana seseorang dapat menerima berita buruk tersebut. Menyampaikan suatu kabar buruk dengan jujur memang tugas yang berat. Namun, ini dapat mengurangi kemungkinan orang dengan demensia merasa diabaikan. Misalnya, ketika ada anggota keluarga yang cukup dekat dengannya meninggal. Bila hal ini disembunyikan, orang dengan demensia dapat berpikir bahwa orang ini tidak lagi peduli padanya sehingga tidak pernah berkunjung atau menelpon lagi.
Ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat menyampaikan berita buruk kepada anggota keluarga kita yang mengalami demensia, antara lain:
- Tahapan demensia yang dialami
Pahami seberapa jauh tahapan demensia yang beliau alami saat ini. Hal ini akan menentukan cara penyampaian, pilihan kata saat menyampaikan, serta sedetail apa informasi yang perlu disampaikan. Sangat penting untuk memahami bahwa demensia dapat mempengaruhi tidak hanya proses pikir namun juga ekspresi emosi seseorang agar Anda tidak kaget ketika reaksi beliau ketika menerima informasi mungkin tidak sesuai yang Anda harapkan.
- Orang yang menyampaikan
Tentukan siapa yang akan menyampaikan berita buruk tersebut. Agar orang yang mengalami demensia tidak bingung, sebaiknya yang menyampaikan berita satu orang saja. Bila ada beberapa anggota keluarga yang hadir, berikan kesempatan satu orang menyampaikan berita hingga tuntas dan orang dengan demensia menanggapinya. Setelahnya, baru yang lain dapat bergiliran bicara bila ada hal yang ingin disampaikan. Bila ada perkembangan, sebaiknya orang yang sama yang menyampaikannya, untuk membantu orang dengan demensia mengingat informasi sebelumnya. Misalnya, anak kedua yang menyampaikan bahwa adik beliau dirawat di RS, ketika beberapa hari kemudian ada informasi baru (sekarang sudah diperbolehkan pulang), usahakan informasi ini disampaikan oleh anak kedua lagi.
- Waktu, tempat, dan situasi saat menyampaikan
Pastikan ada cukup waktu sehingga Anda tidak perlu terburu-buru dalam menyampaikan informasi. Pastikan juga anggota keluarga Anda yang mengalami demensia sedang dalam kondisi cukup istirahat, sehingga lebih mudah untuknya memahami dan mengolah informasi.
Pilihlah tempat yang tenang, tidak berisik. Bila ada beberapa orang di ruangan tersebut saat berita disampaikan, jangan bicara bersamaan.
- Pilihan kata yang digunakan
Selalu gunakan bahasa yang paling dikuasainya dan gunakan kata-kata yang mudah dipahami.
Demensia membuat seseorang kesulitan untuk memahami kiasan atau perumpamaan. Oleh karena itu, hindari menggunakan eufemisme atau kata-kata kiasan seperti ‘ia telah pergi’, ‘sudah pulang/berpulang’, ‘sudah tidak ada’ maupun kata-kata bernada negatif seperti ‘mati’ atau ‘tewas’. Gunakan kata-kata yang sederhana yang lebih netral seperti ‘meninggal’.
- Perhatikan reaksi beliau dan berikan dukungan yang dibutuhkan
Validasi perasaan dan emosi yang muncul. Hindari tanggapan yang dismisif, seperti “sudah jangan dibawa stress!” atau “ya sudah mau bagaimana lagi?”
Anda boleh menunjukkan bahwa Anda juga sedih atau khawatir, dan sampaikan bahwa hal ini memang sulit, tapi Anda ada untuk beliau dan yakin bahwa keluarga Anda bisa melewatinya bersama-sama.
Terkadang, orang dengan demensia pada tahap lanjut dapat lupa tentang kabar buruk yang sudah disampaikan. Perlu tidaknya ia diingatkan tentang hal ini, tergantung dari reaksinya. Misalnya, ia mungkin lupa bahwa kakaknya sudah meninggal dan kerap kali mencarinya meski telah diberitahu. Bila Anda melihat setiap kali ia diingatkan, ia mengalami kesedihan yang sangat besar seakan-akan baru diberitahu lagi, maka tidak apa-apa bila Anda memutuskan untuk tidak memberikan kabar buruk tersebut lagi.
Peneliti Tuffrey-Wijne dan Watchman (2015) menyampaikan langkah-langkah yang bisa kita lakukan ketika menyampaikan berita buruk kepada orang yang memiliki gangguan kognitif, seperti demensia.
- Pertimbangkan pemahaman dasar beliau saat ini
- Pahami apa ‘berita buruk’ yang harus disampaikan dan bagi menjadi beberapa bagian
- Berikan bagian informasi yang ada secara bertahap, mulai dari yang paling penting diketahui sekarang
- Cek pemahaman beliau dan reaksinya. Terkadang pemberian informasi perlu diulang
Contoh kasus:
Alisa tinggal bersama ayahnya yang telah didiagnosis demensia tahap ringan-sedang, Bapak Sumarso. Alisa mendapatkan informasi bahwa adik ayahnya mengalami gejala-gejala COVID-19 dan harus dirawat di RS karenanya. Seluruh keluarga yang tinggal serumah dengan Bapak Sumardi diwajibkan menjalani karantina mandiri, termasuk para cucu.
Alisa mempertimbangkan dahulu pemahaman Bapak Sumarso saat ini. Bapak Sumarso telah memahami bahwa saat ini sedang terjadi wabah COVID-19, ia tahu bahwa adiknya tinggal dengan anak dan menantu serta dua orang cucu.
Alisa membagi informasi yang ada menjadi beberapa bagian:
- Adik Pak Sumarso dirawat di RS karena dicurigai terkena COVID-19
- Saat ini kondisinya sadar, namun sesak napas
- Meski belum terkonfirmasi COVID-19, orang yang tinggal serumah harus menjalani karantina mandiri. Ini termasuk dua orang cucu yang biasa berkunjung dua minggu sekali ke rumah Pak Sumarso.
- Anggota keluarga lain, termasuk Pak Sumarso, tidak boleh menjenguk
Alisa menentukan bahwa informasi yang pertama-tama perlu disampaikan adalah bahwa adik ayahnya dirawat di RS. Informasi lainnya ia berikan secara bertahap sesuai dengan tanggapan dan pertanyaan Pak Sumarso. Ketika Pak Sumarso menunjukkan kekhawatirannya dan bertanya kapan ia boleh datang menjenguk, Alisa menyampaikan kembali informasi tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa ia paham ayahnya khawatir dan menawarkan untuk ayahnya bisa bicara melalui video-call ketika adiknya sudah membaik dan tidak sesak.
Referensi:
- Tuffrey-Wijne, I., & Watchman, K. (2015). Breaking bad news to people with a learning disability. Learning Disability Practice, 18(7), 16–23. https://doi.org/10.12968/bjon.1998.7.2.86
- Crossroads Hospice & Palliative Care. (2018). Breaking bad news to someone with dementia. Retrieved April 21, 2020, from https://www.crossroadshospice.com/hospice-palliative-care-blog/2018/june/26/breaking-bad-news-to-someone-with-dementia/