Saya (Kate) diserang rasa bersalah terus menerus yang sulit hilang, walau keluarga dan teman mencoba meyakinkan untuk tak perlu merasa bersalah. Setiap kali saya meminta tolong orang lain untuk mengantarkan saya dengan mobil, karena saya tak lagi diizinkan memiliki SIM dan tak boleh menyetir sendiri, saya merasa bersalah.
Saya jadi merasa tergantung dengan orang lain. Ketika suami sedang marah atau sedih, saya merasa bersalah. Ketika saya lupa nama suami, saya merasa
bersalah. Ketika saya sulit mengingat nama anak-anak saya dan sering tertukar-tukar namanya, saya merasa bersalah.
Saya merasa bersalah saat meminta bantuan menghitung dengan kalkulator, atau mengonversi file ke gambar. Saya merasa bersalah tidak selalu ingat untuk mematikan kompor saat keluar rumah. Saya sudah menyiapkan penanda supaya
menghindari kejadian seperti itu, tapi tidak selalu berhasil.
Saya merasa bersalah ketika saya lupa minum obat, meskipun sudah menggunakan reminder. Saya merasa bersalah karena jarang pergi ke bioskop dengan suami atau
keluar untuk berpesta. Kami telah berubah, dan itu karena saya menderita demensia. Dan yang lebih parah, ada rasa malu dan terhina karena tidak bisa mengingat atau melakukan hal-hal yang masih bisa dilakukan orang lain. Ketika orang tua saya berkunjung dari luar kota, saya tidak bisa menawarkan diri untuk
menjemput mereka dari bandara, saya merasa bersalah.
Tapi lalu saya memilih untuk terus menjalani hidup dengan cara yang terbaik dan bekerja keras untuk mengatasi efek terus menerus dihinggapi perasaan bersalah. Dengan cara menyibukkan diri, salah satunya. (Sumber: Kate Swaffer, What The Hell Happened To My Brain?: Living Beyond Dementia, 2016)